Budaya ‘Jatah Preman’ di Birokrasi: Cermin Korupsi Pejabat Publik yang Tak Kunjung Hilang

TVTOGEL — Fenomena “jatah preman” dalam birokrasi pemerintahan kembali jadi sorotan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Riau Abdul Wahid lewat operasi tangkap tangan (OTT). Ia diduga memeras pegawai di lingkungan Dinas PUPR-PKPP Provinsi Riau demi mendapatkan setoran dari proyek daerah.

Kasus ini bukan yang pertama. Justru menjadi potret buram betapa korupsi di kalangan pejabat publik masih terjadi secara sistemik dan nyaris menjadi bagian dari budaya birokrasi itu sendiri.


Dari ‘Setoran Jabatan’ hingga ‘Jatah Preman’

KPK mengungkap bahwa Abdul Wahid meminta “jatah preman” dari tambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang diberikan kepada enam UPT wilayah. Para pejabat diminta menyetor sebagian dana proyek agar tetap aman di posisinya. Menolak berarti kehilangan jabatan.

Menurut KPK, praktik ini telah menjadi rahasia umum di lingkungan Dinas PUPR-PKPP. “Istilahnya memang ‘jatah preman’,” ujar Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak.

Dari total anggaran Rp177,4 miliar, Wahid disebut menagih fee 5 persen atau sekitar Rp7 miliar. Dari jumlah itu, Rp4,05 miliar sudah berpindah tangan. Uang hasil pungutan bahkan digunakan untuk biaya perjalanan ke luar negeri, termasuk ke Inggris dan Brasil.


Birokrasi dan Budaya Setoran yang Mengakar

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai praktik semacam ini merupakan hasil dari krisis kultur birokrasi yang gagal dibenahi. Reformasi birokrasi hanya berjalan di permukaan, sementara budaya setoran terus hidup.

“Sejak dulu, pemerasan oleh pejabat sudah jadi hal yang dianggap wajar. Tidak ada perubahan kultur yang signifikan,” ujar Egi.

Ia menambahkan bahwa pengawasan internal dan eksternal sama-sama lemah. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sering tak independen, bahkan dikendalikan oleh pejabat yang seharusnya diawasi. Di sisi lain, penegakan hukum yang lemah membuat praktik ini terus berulang.


Korupsi Kepala Daerah: Fenomena yang Terus Terulang

Abdul Wahid bukan satu-satunya kepala daerah yang terjerat kasus serupa. Sebelumnya, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor dan Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah juga tersandung kasus pemerasan dan gratifikasi.

Menurut catatan KPK, sejak 2004 hingga 2023 terdapat lebih dari 600 kasus korupsi di level kabupaten/kota, melibatkan bupati, wali kota, dan pejabat daerah. Sementara Indonesia Corruption Watch mencatat sedikitnya 61 kepala daerah tersangkut kasus korupsi dalam tiga tahun terakhir.

Sektor pengadaan barang dan jasa menjadi lahan empuk bagi korupsi jenis ini. KPK mencatat 394 perkara korupsi pengadaan sejak 2004—hanya kalah banyak dari kasus suap dan gratifikasi.


Uang Korupsi untuk Biaya Politik

Eks penyidik senior KPK, Praswad Nugraha, menilai praktik pemerasan pejabat kerap berhubungan erat dengan politik uang dan upaya mempertahankan kekuasaan. Uang hasil pungutan digunakan untuk membiayai kampanye, menjaga loyalitas politik, atau membangun jejaring rente ekonomi di daerah.

Dengan kata lain, korupsi bukan sekadar kejahatan finansial, tapi juga alat mempertahankan kekuasaan.


Solusi: Integritas, Bukan Sekadar Regulasi

Menurut peneliti Transparency International Indonesia (TII), Bagus Pradana, korupsi di Indonesia kini telah bergeser dari perilaku transaksional menjadi predatoris dan sistemik.

Ia menyebut bahwa teknologi dan digitalisasi layanan publik sebenarnya bisa menekan peluang pungli dan pemerasan, tapi hasilnya nihil tanpa budaya integritas.

“Teknologi hanya efektif bila dibarengi dengan integritas. Tanpa itu, akuntabilitas akan tetap lemah,” ujarnya.

Bagus menegaskan, regulasi antikorupsi di Indonesia sebenarnya sudah cukup kuat, namun masih kalah oleh budaya “setoran” yang mengakar. Menurutnya, melawan budaya setoran harus dimulai dengan membangun budaya integritas di semua lini pemerintahan.