TVTOGEL — Presiden Prabowo Subianto akhirnya buka suara soal polemik utang proyek Kereta Cepat Indonesia–Cina (KCIC). Setelah berbulan-bulan isu ini menjadi sorotan publik, Prabowo menegaskan bahwa proyek tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena bersifat pelayanan publik dan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.
“Saya sudah pelajari semua masalahnya. Kita mungkin bayar Rp1,2 triliun per tahun, tapi manfaatnya jauh lebih besar — mengurangi macet, polusi, dan mempercepat perjalanan,” ujar Prabowo saat meresmikan Stasiun Tanah Abang Baru, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Pernyataan ini muncul di tengah meningkatnya perdebatan soal apakah proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (KCJB) benar-benar efisien atau justru menjadi beban utang baru bagi negara. Sebagian pihak bahkan menyebut proyek ini sebagai potensi “jebakan utang Cina”.
Benarkah Ada Jebakan Utang dalam Proyek KCIC?
Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa proyek kereta cepat belum bisa langsung disebut sebagai jebakan utang. Namun, ia mengakui ada tiga indikator utama yang menimbulkan kekhawatiran.
- Lonjakan biaya (cost overrun) mencapai 1,2 miliar dolar AS sejak Februari 2023.
- Ketergantungan tinggi terhadap pembiayaan China Development Bank (CDB), yang menanggung sekitar 75 persen nilai investasi.
- Pendapatan proyek yang belum seimbang dengan kewajiban utang.
“Kalau tiga hal ini tidak dibenahi, proyek bisa berubah menjadi beban fiskal tersembunyi,” ujar Achmad (5/11/2025).
Kesalahan Awal dalam Strategi Pembiayaan
Menurut Achmad, kesalahan utama proyek KCJB terletak pada strategi pembiayaan yang terlalu agresif. Sejak awal, Indonesia memilih skema business-to-business (B2B) dengan porsi utang besar dan ekspektasi jumlah penumpang yang terlalu optimistis.
Namun, ketika biaya melonjak dan pembangunan terlambat, pemerintah akhirnya turut memberikan penyertaan modal negara (PMN) untuk menambal defisit. Hal ini membuat proyek yang awalnya murni B2B berubah menjadi semi-fiskal.
“Struktur utang yang terlalu bergantung pada satu sumber pembiayaan, apalagi dengan bunga 3,4 persen, jelas tidak sehat,” kata Achmad.
Restrukturisasi Utang: Solusi atau Penundaan Masalah?
Negosiasi ulang utang KCJB menghasilkan perpanjangan tenor hingga 60 tahun. Namun, bagi Achmad, langkah ini lebih mirip penundaan masalah, bukan penyelesaian.
“Restrukturisasi seperti ini hanya merenggangkan arus kas jangka pendek, tapi menambah bunga dan ketidakpastian jangka panjang,” tegasnya.
Ia mengusulkan beberapa opsi restrukturisasi yang lebih ideal, seperti:
- Revenue-linked repayment, di mana cicilan menyesuaikan kinerja pendapatan.
- Konversi sebagian utang ke ekuitas agar risiko dibagi dengan pihak kreditor.
- Swap kurs dan bunga untuk mengurangi risiko fluktuasi nilai tukar.
- Milestone-based grace period, di mana pembayaran baru dimulai setelah proyek mencapai tingkat okupansi tertentu.
“Kalau analoginya, seperti menyewa mobil dan membayar sesuai kilometer yang ditempuh, bukan waktu di kalender,” jelas Achmad.
Optimasi Pendapatan dan Audit Independen
Achmad juga menekankan pentingnya audit independen atas seluruh struktur biaya dan kontrak proyek KCIC. Pemerintah, kata dia, perlu memastikan tidak ada pembengkakan biaya yang tak wajar.
Selain itu, pendapatan proyek juga harus ditingkatkan dengan:
- Integrasi antarmoda transportasi agar konektivitas meningkat.
- Tarif dinamis dan pengembangan kawasan TOD (Transit Oriented Development) di sekitar stasiun.
- Sumber pendapatan non-tiket, seperti ruang komersial dan iklan.
Data terbaru mencatat, hingga Oktober 2025, jumlah penumpang KCIC telah menembus 5,1 juta orang, dengan rekor harian lebih dari 26 ribu. Namun, angka ini masih perlu terus digenjot agar mampu menutup biaya operasional dan cicilan utang.
“Kalau tidak, perpanjangan tenor 60 tahun hanya akan jadi rel panjang menuju beban fiskal lintas generasi,” tegasnya.
Pandangan Lain: Belum Termasuk Jebakan Utang
Peneliti dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, berpendapat bahwa proyek KCIC belum bisa disebut sebagai jebakan utang dalam pengertian klasik.
Menurutnya, istilah “debt trap” biasanya berlaku ketika sebuah negara kehilangan kendali atas aset strategis karena gagal membayar pinjaman luar negeri. “Sementara dalam konteks KCIC, utang ini berbentuk pinjaman antar-perusahaan (B2B), bukan pinjaman antar-negara,” jelas Anwar.
Artinya, secara hukum, risiko utang berada di level korporasi, bukan langsung membebani APBN.
Risiko Tetap Ada untuk Generasi Mendatang
Meski begitu, Anwar mengingatkan bahwa restrukturisasi hingga 60 tahun tetap membawa konsekuensi fiskal jangka panjang. Pemerintah memang hanya membayar Rp1,2 triliun per tahun, tapi jangka waktu yang panjang berarti beban ini bisa menembus lintas generasi.
“Kalau proyek tidak menghasilkan pendapatan cukup atau biaya operasionalnya tinggi, cicilan itu akan diambil dari dana publik. Itu artinya, utang ini tetap bisa berpotensi menjadi beban bagi negara,” ujarnya.